Humor dan perilaku tertawa sering kali menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari manusia. Aktivitas ini sudah dianggap menjadi hal yang
lumrah. Namun, mengapa manusia tertawa? Bagaimana asal usul tertawa
secara evolusioner?
Steven Legare dari Universite de Montreal, Kanada, dalam hasil
penelitiannya mengungkapkan bahwa tawa merupakan perilaku universal.
Disebut universal karena perilaku ini tidak hanya dilakukan oleh
manusia, tetapi juga hewan, misalnya kera. Legare mencontohkan, pada
kera, perilaku ini merupakan respons dari aktivitas saling menggelitik.
Ketika tertawa, kera tersebut sedang mengomunikasikan niat untuk bermain
atau mengindikasikan keinginan untuk melanjutkan permainan yang sedang
berlangsung.
Fungsi humor dan tertawa
Perilaku tertawa secara universal dianggap sebagai sinyal emosi positif
yang tidak terpengaruh oleh perilaku tiruan atau transisi budaya.
"Anak-anak yang lahir tuli dan buta bisa tertawa dalam konteks yang
sesuai meski tanpa mereka bisa melihat tawa dari orang lain atau belajar
darinya," kata Legare.
Disampaikan Legare bahwa fungsi utama humor dan tawa secara prinsip
adalah untuk berkomunikasi. "Akan tetapi, hal itu tidak terjadi sampai
evolusi bahasa membuat candaan verbal menjadi bagian dari proses
sosialisasi. Candaan semacam itu tidak mungkin dilakukan bila kita tidak
menguasai bahasa," ujar Legare yang dikutip Pyhsorg, Rabu (27/3/2013)
lalu. Evolusi tawa dan candaan ditandai tiga pembeda adaptasi, yakni
kemahiran teori of mind, evolusi bahasa, dan kemampuan mengenali
keganjilan dalam pernyataan simbolik.
Legare menemukan, perilaku tertawa dan humor ternyata eksis pada setiap
budaya dan waktu. Ia menyebutkan bahwa tawa diasosiasikan dengan
perubahan kontraksi pada otot dan aktivasi otak. Berbagai studi
menyatakan, tawa ditandai dengan keadaan rangsangan yang diikuti oleh
keadaan yang santai. Dalam ilmu psikologi, tawa diartikan sebagai
keadaan subyektif mengenai kesejahteraan. Akan tetapi, dalam kondisi
tidak nyaman, kita pun masih bisa tertawa meski secara terpaksa.
Perbedaan tipe tawa ini, yang dalam ilmu saraf, dikenal dengan tawa
Duchenne (tawa yang santai) dan non-Duchenne (tawa yang terpaksa).
Menurut Legare, memahami tawa sebagai sebuah sinyal sangat krusial.
"Perbedaan fungsi dan perilaku yang menjadi ciri dari kedua jenis tawa
ini mengartikan bahwa keduanya memiliki sejarah evolusi masing-masing
yang independen," paparnya.
Dari sekadar canda ke humor verbal
Perkembangan perilaku tertawa dan humor telah menjadi teka-teki sejak
waktu yang sudah sangat lama. Legare mengatakan, beberapa ahli telah
mencoba menjelaskan asal mula tawa dan humor melalui berbagai mekanisme
evolusioner, di antaranya seleksi seksual, sosialisasi, dan penularan
emosi. "Mulanya terbatas pada permainan fisik atau sosial, perilaku tawa
yang santai (Duchennelaughter) diperluas pada area ide, yang kemudian
membuka jalan pada perkembangan candaan verbal," jelasnya.
Legare berpendapat, kecakapan seseorang dalam bercanda dipengaruhi oleh
seleksi seksual. Ekspresi dalam canda juga berfungsi selama proses
evolusi manusia sebagai indikator kecocokan. Sekali terkembang, candaan
verbal secara bertahap semakin bertambah kompleks dan mutakhir, yang
menggambarkan keragaman budaya yang luar biasa yang terjadi saat ini.
"Etnologi menginformasikan pada kita bahwa ejekan, pernyataan yang
berlebihan, dan ironi mungkin bentuk-bentuk candaan yang paling tua
karena mereka bersifat universal. Di lain sisi, candaan berdasarkan
kemampuan berbahasa seperti candaan berdasar fonologi, leksikal, dan
ambiguitas sintaksis, hanya dilakukan oleh masyarakat yang mampu menulis
yang tentu saja dilakukan masyarakat yang lebih modern. Hal yang sama
juga terjadi pada candaan yang absurd, yang dibuktikan oleh
kebetulan-kebetulan dalam budaya mereka," tandasnya.
Sumber: kompas.com | unik247.com
0 komentar:
Posting Komentar