BENDERA KERAJAAN MAJAPAHIT dan
Sang Saka Gula Kelapa, Sang Merah Putih
“Berkibarlah
benderaku, lambang suci gagah perwira, di seluruh pantai Indonesia, kau
tetap pujaan bangsa, siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu
membela …….Sang Merah-Putih yang perwira, berkibarlah selama-lamanya”.
Lagu diatas diciptakan oleh Ibu Soed
tentang bendera Merah-Putih, bendera Indonesia. Bendera Merah-Putih?
Sebenarnya hanya terdiri atas dua potong kain saja yang terdiri dari
warna Merah berada diatas dan warna Putih berada dibawah yang kemudian
dijahit menjadi satu.
Namun kedua potong kain inilah yang
menjadi lambang kebesaran bangsa Indonesia, ciri khas Indonesia, serta
menjadi lambang kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku
yang Bhinneka Tunggal Ika.
Bila kita melihat deretan bendera yang
dikibarkan dari berpuluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati
kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya
mengandung arti, nilai dan kepribadian tersendiri, sesuai dengan riwayat
sejarah bangsa itu masing-masing.
Demikian halnya dengan Sang Merah Putih
bagi bangsa Indonesia, warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat
dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dan dibuat
secara tiba-tiba, melainkan melalui proses sejarah yang sama lamanya
dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia.
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu
kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah
mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan
warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia,
terutama di pulau Jawa.
Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh
orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah
berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna
merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak
bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah
ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah,
yang ditanam di gua garba.
Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul Abang Putih), ternyata Majapahit mempunyai bendera kerajaan yaitu bendera Merah-Putih dan Prajurit Majapahit dinamakan Prajurit Gula Kelapa.
Gula Kelapa itu berwarna Merah dan
terbuat dari sari buah Kelapa yang berwarna Putih. Ada juga yang
menyebutkan bahwa prajurit Majapahit dinamakan Prajurit Getih-Getah seperti yang kita ketahui bahwa Getih itu berwarna Merah dan Getah berwarna Putih.
Adapun makna dari bendera Merah-Putih ada
dua yaitu Merah berati Berani dan Putih berarti Suci, belakangan ini
ada juga yang menyebutkan bahwa merah-putih itu melambangkan darah merah
dan tulang putih yang menyatu dalam jiwa raga kita.
Sebelum Majapahit, kerajaan Kadiri telah memakai panji-panji merah putih.
Sang Merah-Putih selalu berkibar dan
disambut dengan sangat syahdu dan penuh perasaan hormat pada setiap hari
Nasional maupun hari-hari kemenangan dalam bidang prestasi, serta
upacara lainnya. Bendera kebangsaan bukan hanya sebagai lambang ataupun
ciri khas bangsa Indonesia, tetapi dari pada itu Sang Merah-Putih telah
menjadi bagian dari bagian setiap insan Indonesia. Dia telah mendarah
daging, menjadi sumsum yang mengalir selamanya dalam diri rakyat
Indonesia.
Dua potong kain Dwi Warna Merah dan Putih
yang kita kenal sekarang sebagai Bendera Kebangsaan Bangsa Indonesia
ini telah dikukuhkan sebagai bendera kebangsaan bangsa Indonesia.
Merah yang bermakna berani karena benar
dan Putih yang bermakna suci. Pengorbanan yang besar telah ditorehkan
rakyat Indonesia untuk Sang Merah-Putih ! Hal ini dapat dibuktikan dalam
sejarah kebangsaan sejak 17 Agustus 1945 Sang Merah-Putih berkibar
diseluruh tanah air dan tanggal 29 September 1950 berkibar di markas
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Bila kita melihat deretan bendera yang
dikibarkan dari berpuluh-puluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di
hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di
dalamnya mengandung arti, nilai, dan kepribadian sendiri-sendiri, sesuai
dengan riwayat bangsa masing-masing.
Demikian pula dengan bendera merah putih
bagi Bangsa Indonesia. Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat
dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan
cuma-cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam
perkembangan Bangsa Indonesia.
Menurut sejarah, Bangsa yang sekarang
mendiami daerah yang kita kenal dengan Indonesia, memasuki wilayah
Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar
6000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah
Semenanjung dan Philipina.
Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan.
Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti Matahari dan Candra berarti Bulan.
Penghormatan dan pemujaan tidak saja di
kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di
Samudra Hindia, dan Pasifik.
Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi
perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia
Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu
masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian
melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai Bangsa Indonesia.
Pada zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu getih-getah. Getih-Getah yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih.
Getih (dalam Bahasa Jawa/Sunda) berarti
darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi
tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan, dan Getah tumbuh-tumbuhan berwarna
putih. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan
Asia Tenggara.
Pada permulaan masehi selama dua abad,
rakyat di Kepulauan Nusantara mempunyai kepandaian membuat ukiran dan
pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan
kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat
alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi.
Salah satu hasil yang terkenal ialah
pembuatan genderang besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar
hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali genderang ini disebut Nekara
Bulan Pejeng yang disimpan dalam pura.
Pada nekara tersebut di antaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung.
Demikian juga di Gunung Kidul sebelah
selatan Yogyakarta terdapat makam berupa waruga dengan lukisan bendera
merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau,
seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.
Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya?
Berdasarkan catatan sejarah dapat
dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan
memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk
kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar
dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil
benda kuno ada petunjuk bahwa Bangsa Mesir telah menggunakan bendera
pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah
dikuasainya dan dicatat dalam daftar.
Demikian juga Bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum masehi.
Bendera itu terikat pada tongkat dan
bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah
diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu
didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah.
Hal itu diperkuat juga dengan adanya
istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja
tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah symbol dari
kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya.
Ukiran totem yang terdapat pada puncak
atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa.
Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.
Pada abad XIX tentara Napoleon I dan II
juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang.
Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada
hubungannya dengan religi.
Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan
bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan
kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara.
Bendera Yunani umumnya terdiri dari
sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat
bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang
pinggirnya berwarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang
di atas tombak atau lembing.
Ada lagi yang dinamakan labarum yang
merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai
untuk Raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai
abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera
“gunfano” yang dipakai Bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar
lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang
bernama “fonfano”.
Bangsa Viking hampir sama dengan itu,
tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau
kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai
lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya,
seperti Bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan
Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai
bendera yang bersulam gambar ular naga.
Tata cara pengibaran dan pemaSångån
bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih
sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai
rupanya pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih
digunakan oleh beberapa Negara di dunia.
Pada abad VII di Nusantara ini terdapat
beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya
yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas,
satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad VIII
terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu
Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII.
Salah satu peninggalannya adalah Candi
Borobudur, dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu relief
pada dindingnya terdapat “pataka di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar”.
Adanya ukiran pada dinding Candi
Borobudur (dibangun pada awal abad ke- 9) menjadi salah-satu bukti awal
beliau, di mana pada ukiran tersebut menggambarkan tiga orang hulubalang
membawa umbul-umbul berwarna gelap dan terang, di duga melambangkan
warna Merah dan Putih.
Keterangan untuk ukiran itu menyebutnya
sebagai Pataka atau Bendera. Catatan-catatan lain sekitar Borobudur juga
sering menyebut bunga Tunjung Mabang (Merah) dan Tunjung Maputeh (Putih).
Ukiran yang sama juga tampak di Candi Mendut, tidak jauh Candi Borobudur, yang kurang lebih bertarikh sama.
Dari bukti ukiran Candi Borobudur ini,
Prof. H. Muhammad Yamin dengan rajin mengumpulkan banyak bukti sejarah
lain yang dapat di kaitkan dengan pemujaan terhadap lambang, warna Merah
dan Putih di setiap celah budaya Nusantara.
Di bekas kerajaan Sriwijaya tampak pula berbagai peninggalan dengan unsur-unsur warna Merah dan Putih.
Antonio Pigafetta, seorang pencatat dalam
pelayaran Marcopolo di abad 16, dalam kamus kecilnya yang berisi 426
kata-kata Indonesia, memasukan entri Cain Mera dan Cain Pute, yang di terjemahkan sebagai Al Panno Rosso et Al Panno Bianco.
Bila tidak sering melihat kombinasi Merah-Putih sebagai satu kesatuan, mungkinkah Pigafetta memasukkannya sebagai sebuah entri ?
Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga
terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah
(api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih.
Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal
warna merah dan putih.
Prabu Airlangga, digambarkan sedang
mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal sebagau
Burung Merah Putih. Demikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja
Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai
gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang
Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.
Kerajaan Singasari berdiri pada tahun
1222 sampai 1292 setelah Kerajaan Kediri, mengalami kemunduran. Raja
Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan
Singasari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan
Bendera Merah Putih pada tahun 1292.
Sejarah itu disebut dalam tulisan bahwa
Jawa kuno yang memakai tahun 1216 Caka (1254 Masehi), menceritakan
tentang perang antara Jayakatwang melawan R. Wijaya.
Pada saat itu tentara Singasari sedang
dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat
mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji-panji berwarna merah
putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi.
Kidung Pararaton menerangkan:
Samangka siraji jayakathong mangkat marep ing Tumapel, sanjata kang saka lor ing Tumapel, wong Deha naghala hala, tunggul kalawan tatabuhan penuh
[Sekarang raja Jaya
Kathong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah
utara Tumapel terdiri dari orang orang Daha yang tidak baik, berbendera dan bunyi bunyian penuh].
Pasukan inilah yang kemudian berhadapan
dengan Pasukan Singasari , padahal pasukan Singasari yang terbaik
dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan.
Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan
nama Piagam Butak.
Butak adalah nama gunung tempat
ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto.
Pasukan Singasari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak
Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah
sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto.
Berkibarlah warna merah dan putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan Piagam Merah-Putih, namun masih terdapat salinannya.
Demikian perkembangan selanjutnya pada
masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga
dan Dara Pethak yang dibawa oleh tentara Pamalayu juga mangandung unsur
warna merah dan putih (jingga=merah, dan pethak=putih).
Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai Keraton Merah-Putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya berwarna putih.
Empu Prapanca pengarang buku
Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah-putih pada
upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar–pembesar yang
menghadiri pesta, banyak dihiasi merah-putih, seperti yang dikendarai
oleh Putri raja Lasem.
Nāgarakṛtāgama Pupuh LXXXIII: 1.
An mangka kottaman sri-narapati siniwing tiktawilwaikanatha
Saksat candreng sarat kastawan ira n-agawe tusta ning sarwwaloka
Lwir padma ng durjjana lwir kumuda sahana sang sajjanasih teke twas
Bhrtya mwang kosa len wahana gaja turagadanya himper samudra.
Saksat candreng sarat kastawan ira n-agawe tusta ning sarwwaloka
Lwir padma ng durjjana lwir kumuda sahana sang sajjanasih teke twas
Bhrtya mwang kosa len wahana gaja turagadanya himper samudra.
[Begitulah keluhuran Sri Baginda ekananta di Wilwatika,
Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang,
Berani laksana tunjung merah, suci bagaikan teratai putih,
Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera.]
Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang,
Berani laksana tunjung merah, suci bagaikan teratai putih,
Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera.]
Kereta putri Daha digambari buah maja
warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman
Majapahit warna merah-putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia
dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna
merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit
dengan Mataram sebagai kelanjutan.
Dalam Keraton Solo terdapat panji-panji
peninggalan Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji-panji
tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris
atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta
berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Sang Såkå Gulå Kelåpå. dilihat dari warna merah dan putih.
Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.
Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo
yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan
bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau
penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah
mewakili golongan hulu balang. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan
peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman.
Juga di Sulawesi di daerah Bone dan
Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua
umbul-umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar
di daratan, tetapi juga di samudera, di atas tiang armada Bugis yang
terkenal.
Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan
memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri.
Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan
mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus
bagi yang menggunakannya.
Dalam aliran agama asli Batak dikenal
dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos
merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan
warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna
ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada
hiasan-hiasan rumah adat.
Demikian pula pada ulos terdapat warna
dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan
putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara
ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai
selendang sebagai pelengkap pakaian kaum perempuan.
Ada kalanya pemakaian selendang itu
ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara-upacara, dan sebagian
besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.
Ketika terjadi perang Diponegoro pada
tahun 1825-1830 di tengah-tengah pasukan Diponegoro yang beribu-ribu
juga terlihat kibaran bendera merah-putih, demikian juga di
lereng-lereng gunung dan desa-desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro
banyak terlihat kibaran bendera merah-putih.
Ibarat gelombang samudera yang tak
kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya,
Majapahit, putra-putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari
Mataram, Sultan Agêng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanudin,
Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari,
Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang
untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan
kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan
tidak terpadamkan.
Empat warna utama dalam mitologi jawa,
yakni Merah sebagai lambang amarah, Putih sebagai lambang Mutmainnah,
Kuning sebagai lambang Supiah, dan Hitam sebagai lambang Luwainnah. Dua
keraton di Solo, misalnya menggunakan lambang-lambang warna itu sebagai
benderanya.
Keraton Susuhunan Paku Buwono memakai simbol Timur-Selatan yang dilambangkan dengan warna Gulå-Kelåpå atau Merah-Putih.
Sedangkan Keraton Mangku Negoro memakai simbol Barat-Utara yang
dilambangkan dengan warna Hijau-Kuning. Getaran warna Hijau sama dengan
warna Hitam lambang Luwainnah.
Warna Merah dan Putih tidak hanya di
pakai sebagai lambang penting oleh kerajaan Mataram. Pada abad ke-16,
dua bilah cincin berpermata Merah dan Putih diwariskan oleh Raja
Majapahit kepada Ratu Jepara yang bernama Kalinyamat.
Kapal-kapal perang Ratu Kalinyamat ketika
melakukan penyerbuan melawan orang-orang Portugis di perairan Laut
Jawa, pada tiang-tiang utama kapal berkibar bendera Merah Putih.
Di kerajaan Mataram sendiri, umbul-umbul Gulå-Kelåpå yang berwana Merah-Putih terus dimuliakan oleh Sultan Agung serta Raja-Raja yang meneruskannya.
Perlawanan rakyat yang di pimpin oleh
Pangeran Diponegoro pada abad ke-19 di mulai dengan barisan rakyat yang
mengibarkan umbul-umbul Merah-Putih berkibar di mana-mana.
Rakyat berkeyakinan bahwa Merah-Putih
adalah pelindung mereka dari segala marabahaya. Pada abad ke-19 itu
pula, para pemimpin dan pengikut gerakkan Paderi di Sumatera Barat
banyak yang mengenakan sorban berwarna Merah dengan jubah berwarna
Putih, untuk menandai gerakan perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda.
Kata tunggul, dwaja atau pataka
sangat lazim digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana.
Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobudur, oleh seorang pelukis
berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih.
Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia
makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan
perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara
mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908
sebagai salah satu tonggak sejarah.
Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta
berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi
Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan
latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara
lain:
Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau
Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah
makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.
Ketika terjadi perang di Aceh,
pejuang-pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul
dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar
pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al
Qur’an.
Para mahasiswa yang tergabung dalam
Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah
mengibarkan bendera merah-putih yang di tengahnya bergambar kepala
kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini
membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia
Merdeka.
Demikian seterusnya pada tahun 1927
berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang
bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut
mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.
Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan
detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Soempah Pemoeda”. Satu
keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah
pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat
kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad
untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah
tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam
“Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :
Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Pada kongres tersebut untuk pertama
kalinya digunakan hiasan merah-putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai
warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan
lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh penciptanya sendiri WR Supratman.
Pada saat kongres pemuda berlangsung,
suasana merah-putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan
dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia)
dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada
anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan
dasi berwarna merah-putih.
Kegiatan pandu, suatu organisasi
kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan
dengan menggunakan dasi dan bendera merah-putih.
Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID)
termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak-gerik
peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi
diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para
pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai
pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan
massa.
Pengibaran Bendera Merah-Putih dan lagu
kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena
ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat
kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan.
Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia
Raya dan Bendera Merah-Putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah
kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia
yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera
merah-putih.
Detik-detik yang sangat bersejarah adalah
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera Merah-Putih,
yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan
tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.
Kemudian pada 29 September 1950
berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan
dunia.
Bendera Merah-Putih mempunyai persamaan
dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian
selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di
bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan
perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2
: 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40
tahun 1958.
Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan
sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan
bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.
Bendera Indonesia, Merah Putih, sering
diartikan “berani” dan “suci”. Apakah ini pemaknaan budaya modern atau
budaya Indonesia promodern? Mengapa kini bangsa Indonesia memilih simbol
merah dan putih sebagai jati diri? Mengapa merah di atas dan putih di
bawah, bukan sebaliknya? Dari mana simbol ini berasal?
Berbagai pertanyaan itu tak pernah
diajukan orang sejak Mohammad Yamin menjelaskannya dalam buku yang tak
pernah dicetak ulang. 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih, tahun 1958.
Dijelaskan, warna merah simbol matahari dan warna putih sebagai simbol
bulan. Merah putih bermakna “zat hidup”. Hanya tidak dijelaskan makna
“zat hidup”.
Buku ini ingin membuktikan, Merah Putih
sudah menjadi simbol bangsa Indonesia sejak kedatangan mereka di
kepulauan Nusantara 6.000 tahun lampau.
Makna merah-putih tidak cukup ditelusuri
dari jejak arkeologi bahwa warna merah, putih, dan hitam dapat dijumpai
pada berbagai peninggalan prasejarah, candi, dan rumah adat.
Artefak-artefak itu hanya ungkapan
pikiran kolektif suku-suku di Indonesia. Maka, arkeologi pikiran
kolektif inilah yang harus digali dan masuk otoritas antropologi-budaya
atau antropologi-seni. Alam pikiran semacam itu masih dapat dijumpai di
lingkungan masyarakat adat sampai sekarang.
Warna merah, putih, hitam, kuning, dan
campuran warna- warna itu banyak dijumpai pada ragam hias kain tenun,
batik, gerabah, anyaman, dan olesan pada tubuh, yang menunjukkan
keterbatasan penggunaan warna- warna pada bangsa Indonesia.
Kaum orientalis menuduh bangsa ini buta
warna di tengah alamnya yang kaya warna. Benarkah bangsa ini buta warna?
Atau bangsa ini lebih rohaniah dibandingkan dengan manusia modern yang
lebih duniawi dengan pemujaan aneka warna yang seolah tak terbatas?
Alam rohani dan duniawi. Alam rohani
lebih esensi, lebih sederhana, lebih tunggal. Sedangkan alam duniawi
lebih eksisten, kompleks, dan plural.
Bangsa Indonesia pramodern memandang
hidup dari arah rohani daripada duniawi. Inilah sebabnya penggunaan
simbol warna lebih sederhana ke arah tunggal. Jika disebut buta warna,
berarti buta duniawi, tetapi kaya rohani.
Berbagai perbedaan hanya dilihat
esensinya pada perbedaan dasar, yakni laki-laki dan perempuan. Semua hal
yang dikenal manusia hanya dapat dikategorikan dalam
dualisme-antagonistik, laki-perempuan. Matahari itu lelaki, bulan
perempuan. Dan puluhan ribu kategori lain.
Pemisahan “lelaki” – “perempuan” itu
tidak baik karena akan impoten. Potensi atau “zat hidup” baru muncul
jika paSångån-paSångån dualistik itu diharmonikan, dikawinkan,
ditunggalkan. Itu sebabnya tunggalnya merah dan putih menjadi
dwitunggal. Satu tetapi dua, dua tetapi tunggal. Dwitunggal merah-putih
menjadi potensi, zat hidup.
Harmoni bukan sintesis. Sintesis merah-putih adalah merah jambu. Bendera Indonesia tetap Merah Putih, dwitunggal.
Dalam sintesis tidak diakui perbedaan karena yang dua lenyap menjadi satu. Bhinneka Tunggal Ika
bukan berarti yang plural menjadi satu entitas. Yang plural tetap
plural, hanya ditunggalkan menjadi zat hidup. Sebuah kontradiksi,
paradoks, yang tidak logis menurut pikiran modern.
Dalam pikiran modern, Anda harus memilih merah atau putih atau merah jambu. Lelaki atau perempuan atau banci.
Dalam pikiran pramodern Indonesia,
ketiganya diakui adanya, merah, putih, merah jambu. Merah jambu itulah
Yang Tunggal, paradoks, Zat Hidup, karena Yang Tunggal itu hakikatnya
Paradoks. Jika semua ini berasal dari Yang Tunggal, dan jika semua ini
dualistik, Yang Tunggal mengandung kedua-duanya alias paradoks absolut
yang tak terpahami manusia.
Tetapi itulah Zat Hidup yang memungkinkan segalanya ini ada.
Yang Tunggal itu metafisik, potensi,
being. Yang Tunggal itu menjadikan Diri plural (becoming) dalam berbagai
paSångån dualistik. Inilah pikiran monistik dan emanasi, berseberangan
dengan pikiran agama-agama samawi. Harus diingat, merah-putih telah
berusia 6.000 tahun, jauh sebelum agama-agama besar memasuki kepulauan
ini. Warna merah, putih, dan hitam ada di batu-batu prasejarah, candi,
panji perang.
Putih adalah simbol langit atau Dunia
Atas, merah simbol dunia manusia, dan hitam simbol Bumi atau Dunia
Bawah. Warna-warna itu simbol kosmos, warna-warna tiga dunia.
Alam pikiran ini hanya muncul di
masyarakat agraris. Obsesi mereka adalah tumbuhnya tanaman (padi,
palawija) untuk keperluan hidup manusia. Tanaman baru tumbuh jika ada
harmoni antara langit dan bumi, antara hujan dan tanah.
Antara putih dan hitam sehingga muncul merah. Inilah yang menyebabkan masyarakat tani di Indonesia “buta warna”.
Buta warna semacam itu ada kain-kain
tenun, kain batik, perisai Asmat, hiasan rumah adat. Meski dasarnya
triwarna putih, merah, hitam, terjemahannya dapat beragam. Putih menjadi
kuning. Hitam menjadi biru atau biru tua. Merah menjadi coklat. Itulah
warna-warna Indonesia.
Kehidupan dan kematian. Antropolog
Australia, Penelope Graham, dalam penelitiannya di Flores Timur (1991)
menemukan makna merah dan putih agak lain. Warna merah dan putih
dihubungkan dengan darah. Ungkapan mereka, “darah tidak sama”, ada darah
putih dan darah merah.
Darah putih manusia itu dingin dan darah
merah panas. Darah putih itu zat hidup dan darah merah zat mati. Darah
putih manusia mendatangkan kehidupan baru, kelahiran. Darah merah
mendatangkan kematian.
Darah putih yang tercurah dari lelaki dan
perempuan menimbulkan kehidupan baru, tetapi darah merah yang tercurah
dari lelaki dan perempuan berarti kematian.
Makna ini cenderung mengembalikan putih
untuk perempuan dan merah untuk lelaki, karena hanya kaum lelaki yang
berperang. Mungkin inilah hubungan antara warna merah dan keberanian.
Merah adalah berani (membela kehidupan) dan putih adalah suci karena
mengandung “zat hidup”.
Mengapa merah di atas dan putih di bawah?
Mengapa tidak dibalik? Bukankah merah itu alam manusia dan putih Dunia
Atas? Merah itu berani (mati) dan putih itu hidup? Merah itu lelaki dan
putih perempuan? Merah matahari dan putih bulan?
Merah panas dan putih dingin? Artinya,
langit-putih-perempuan mendukung manusia-merah-lelaki. Asal manusia itu
dari langit. Akar manusia di atas. Itulah sangkan-paran, asal dan akhir
kehidupan.
Beringin terbalik waringin sungsang. Isi
berasal dari Kosong. Imanen dari yang transenden. Merah berasal dari
putih, lelaki berasal dari perempuan.
Jelas, Merah-Putih dari pemikiran primordial Indonesia.
Merah-putih itu “zat hidup”, potensi,
daya-daya paradoksal yang menyeimbangkan segala hal: impoten menjadi
poten, tak berdaya menjadi penuh daya, tidak subur menjadi subur,
kekurangan menjadi kecukupan, sakit menjadi sembuh. Merah-putih adalah
harapan keselamatan. Dia adalah daya-daya sendiri, positif dan negatif
menjadi tunggal.
Siapakah yang menentukan Merah-Putih
sebagai simbol Indonesia? Apakah ia muncul dari bawah sadar kolektif
bangsa? Muncul secara intuisi dari kedalaman arkeotip bangsa?
Kita tidak tahu, karena merah-putih
diterima begitu saja sebagai syarat bangsa modern untuk memiliki tanda
kebangsaannya. Merah-Putih adalah jiwa Indonesia.
Sumber: dongengarkeologi
0 komentar:
Posting Komentar