Tak terasa waktu terus berlalu dan kita sampai di penghujung tahun. Malam
pergantian tahun baru masehi sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan.
Tidak saja dibelahan bumi lain seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat
kita juga sibuk dan sangat menanti-nantikan malam pergantian tahun
tersebut.
Berbeda halnya dengan pergantian tahun baru hijriah, banyak masyarakat
yang tidak merayakannya, bahkan sekadar tahu saja mereka mungkin tidak.
Memang perayaan tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya
dengan menyalakan kembang api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat
kota dengan tujuan yang tidak jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana
memaknainya.
Kita lebih dituntut untuk merefleksikan apa yang telah kita lakukan pada
tahun sebelumnya, dan diharapkan lebih baik pada tahun selanjutnya.
Sungguh ironis, hal tersebut terjadi di bumi Aceh yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Masyarakat lebih mengenal dan menantikan
detik-detik pergantian tahun baru masehi.
Melihat fenomena tersebut, penulis merasa tergugah untuk sedikit
mengupas sejarah dan pandangan Islam terhadap tahun baru masehi.
<sejarah dan pandangan Islam terhadap tahun baru masehi>>
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender
tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali
perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap
munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret)
sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januarius
(Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama,
diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu
muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa
Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai
gerbang menuju tahun yang baru.
Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu
biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya
libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam
upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak
saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret,
tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada
tanggal 1 Januari 45 SM.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Pandangan Islam
Firman Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya: “Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Dalam ayat tersebut terdapat kata “al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaidah). Menurut Ulama Tafsir, maksud al-Zur adalah
perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Kasir, 6/130). Jelas dari pada ayat
ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri perayaan kaum muyrikin.
Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang
artinya: “Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan
hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita”. Oleh Syekh Ibnu Hajar
Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang melahirkan
rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam
perayaan). (Fathul Bari, 3/371).
Dalam adat masyarakat Aceh yang identik dengan nilai-nilai Islam, dulu
hanya merayakan peringatan hari besar Islam saja seperti perayaan maulid
dan tahun baru hijriah yang malamnya dihiasi dan dihidupkan dengan
dalail khairat di balee dan meunasah.
Melihat sejarah, pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat
Aceh, tidak ada celah sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan
atau sekadar untuk mengucapkan “happy new years”. Pada kenyataannya,
pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan
sayang untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di
pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan
sebagian orang “haram” untuk dilewatkan.
Sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali syiar-syiar Islam. Jika tidak tradisi Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Toh, kita semua ini manusia yang harus taat dan menjunjung tinggi aturan Allah. Tidak ada alasan untuk menafikan syiar-syiar Islam. Pantaskah kita menenggelamkan syiar Islam dan menghidupkan syiar budaya Barat?
TAK terasa waktu terus berlalu dan kita sampai di penghujung tahun.
Beberapa saat lagi tahun 2011 akan menjadi kenangan dan tahun 2012 akan
menyambut kita semua. Malam pergantian tahun baru masehi sangat
ditunggu-tunggu oleh semua kalangan. Tidak saja dibelahan bumi lain
seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat kita juga sibuk dan sangat
menanti-nantikan malam pergantian tahun tersebut.
Berbeda halnya dengan pergantian tahun baru hijriah, banyak masyarakat
yang tidak merayakannya, bahkan sekadar tahu saja mereka mungkin tidak.
Memang perayaan tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya
dengan menyalakan kembang api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat
kota dengan tujuan yang tidak jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana
memaknainya.
Kita lebih dituntut untuk merefleksikan apa yang telah kita lakukan pada
tahun sebelumnya, dan diharapkan lebih baik pada tahun selanjutnya.
Sungguh ironis, hal tersebut terjadi di bumi Aceh yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Masyarakat lebih mengenal dan menantikan
detik-detik pergantian tahun baru masehi.
Melihat fenomena tersebut, penulis merasa tergugah untuk sedikit
mengupas sejarah dan pandangan Islam terhadap tahun baru masehi.
Sejarah tahun baru masehi
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender
tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali
perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap
munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret)
sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januarius
(Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama,
diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu
muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa
Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai
gerbang menuju tahun yang baru.
Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu
biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya
libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam
upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak
saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret,
tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada
tanggal 1 Januari 45 SM.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Pandangan Islam
Firman Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya: “Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Dalam ayat tersebut terdapat kata “al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaidah). Menurut Ulama Tafsir, maksud al-Zur adalah
perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Kasir, 6/130). Jelas dari pada ayat
ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri perayaan kaum muyrikin.
Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang
artinya: “Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan
hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita”. Oleh Syekh Ibnu Hajar
Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang melahirkan
rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam
perayaan). (Fathul Bari, 3/371).
Dalam adat masyarakat Aceh yang identik dengan nilai-nilai Islam, dulu
hanya merayakan peringatan hari besar Islam saja seperti perayaan maulid
dan tahun baru hijriah yang malamnya dihiasi dan dihidupkan dengan
dalail khairat di balee dan meunasah.
Melihat sejarah, pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat
Aceh, tidak ada celah sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan
atau sekadar untuk mengucapkan “happy new years”. Pada kenyataannya,
pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan
sayang untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di
pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan
sebagian orang “haram” untuk dilewatkan.
Sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali syiar-syiar Islam. Jika tidak tradisi Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Toh, kita semua ini manusia yang harus taat dan menjunjung tinggi aturan Allah. Tidak ada alasan untuk menafikan syiar-syiar Islam. Pantaskah kita menenggelamkan syiar Islam dan menghidupkan syiar budaya Barat?
Muftahuddin H. Lidan, Serambinews.
0 komentar:
Posting Komentar